Malam itu Imam terbangun tiba-tiba. Sesosok pria berjubah putih panjang mendatangi kamar dan membuatnya membuka mata dengan terkejut. “Oh! Siapakah ia?” Imam bertanya dalam hati.
“Jangan takut!” katanya. “Aku bukan makhluk jahat. Aku kemari karena ingin mengajakmu berjalan-jalan.”
“Kemana?” Akhirnya Imam bisa menggerakan lidahnya yang kelu.
“Nanti kau akan tahu!” Pria itu tersenyum, mengulurkan tangannya. “Peganglah tanganku!”
Ragu-ragu Imam menyambut tangannya.
Zlrrp!
Tahu-tahu Imam sudah terbang di atas rumahnya. Makin lama rumahnya semakin mengecil dan menjauh. Imam merasa pusing.
“Jangan lihat ke bawah!” kata pria itu. “Lihatlah ke arah bintang-bintang!”
Imam menurutinya. Ternyata memang pusingnya hilang. Lama-lama ia menikmati perjalanannya. Bintang-bintang tampak indah sekali.
Mereka menukik turun ke sebuah gubuk di pinggir desa. Dari kejauhan terdengar bunyi kentongan dipukul dua kali, berarti sudah jam dua pagi. Mereka hinggap di atap gubuk.
“Mengapa kita berhenti di sini?” tanya Imam keheranan. Ia takut atap gubuk itu tidak kuat menahan tubuh mereka.
“Karena ada orang yang berdoa di dalam gubuk ini?” jawab pria itu.
Imam menatapnya tak mengerti.
“Aku diutus turun ke bumi untuk mendengarkan doa-doa manusia. Jika memenuhi persyaratan, doanya akan dikabulkan.” Pria itu menjelaskan.
“Siapa yang mengutusmu?” Imam semakin penasaran.
Pria itu tersenyum semakin lebar. “Yang menciptakan alam semesta dan seisinya. Ialah Allah Subhanahu Wata’ala!”
Imam mengangguk-angguk takjub.
“Lalu siapakah orang yang sedang berdoa itu?”
“Lihatlah!” Pria itu mengayunkan tangannya. Tiba-tiba atap gubuk itu menjadi transparan seperti jendela kaca. Seorang anak seusianya sedang duduk bersimpuh di atas sajadah.
“Apa yang dikerjakannya?” Imam bertanya lagi.
“Ia baru selesai shalat Tahajud. Shalat yang dikerjakan di sepertiga malam. Pada saat seperti inilah, kami turun ke bumi dan mendengarkan doa-doa mereka. Ayo kita dengarkan apa yang ia minta!”
Pria itu menyentuh telinga kanan Imam. Ajaib sekali! Imam bisa mendengar, anak itu berbisik di telinganya.
“Yaa Mughnii..Yaa Mughnii..Yaa Mughnii...”
Imam menoleh kepada pria di sampingnya. “Apa artinya Yaa Mughnii?” tanyanya.
“Artinya Yang Maha Pemberi Kekayaan. Itu adalah salah satu nama kepunyaan Allah.” Pria itu menunjuk tumpukan Koran di ujung tempat tidur. “Anak itu berjualan koran setiap pagi sebelum sekolah. Ia berdoa supaya besok jualannya laku dan ia bisa membeli obat untuk neneknya yang sakit.”
Imam mengangguk-angguk takjub. “Hebat sekali anak itu! Meskipun masih kecil, ia sudah gigih bekerja. Selain itu, ia juga rajin beribadah!” Hatinya terkesima.
“Apakah do’anya akan dikabulkan?” tanya Imam penasaran.
Pria itu tersenyum lembut. “Bagaimana menurutmu?”
“Aku harap sih doanya dikabulkan. Ia sudah bekerja keras sepanjang pagi dan ia juga tak lupa memohon pertolongan Allah setiap malam.” Imam mencoba menjawab.
Pria itu mengangguk setuju. “Allah memnyuruhku memberikan bonus,” katanya bahagia. “Selain korannya akan laku esok pagi sehingga ia bisa membeli obat, neneknya akan disembuhkan. Ia juga akan dianugerahi kepintaran.”
“Alhamdulillah!” Imam mengucap syukur.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini mereka singgah di kamar sebuah rumah yang gelap. Seorang pemuda tampak sedang tertidur pulas. Anehnya, tubuh pemuda itu memancarkan cahaya yang berpendar. Imam terheran-heran.
“Orang ini telah bekerja keras seharian!” Pria itu menjelaskan. “Sebelum tidur ia berniat untuk bangun malam dan melaksanakan shalat Tahajud. Tapi karena ia begitu lelah, Allah mengizinkan ia untuk tetap tidur.”
“Oh, sayang sekali! Pasti keinginannya tidak akan terwujud!” Imam menggeleng-geleng kasihan.
“Begitukah menurutmu?” Pria itu tersenyum penuh misteri.
***
Bagaimana menurutmu?
No comments:
Post a Comment