POJOK BELANJA

Monday, December 14, 2015

Doa Yang Menyelamatkan Tina

Brakk!
Tina terpelanting menabrak ujung trotoar. Rasanya sakit tak tertahankan. Suara mendecit dan suara ribut di sekelilingnya terdengar ramai, lalu pelan-pelan menghilang bersamaan dengan dunia yang menggelap.
**
Rasa sakit menggerayangi kakinya yang digips. Tina mengeluh. Ia menangis di kasurnya. Terapi berjalan yang baru ia selesaikan membuat semua tubuhnya terasa sakit. Hingga ke hatinya. Dunia tak akan sama lagi baginya. Pun andai ia nanti bisa berjalan lagi, kakinya tak kan secantik dulu. Tak kan bisa berlari sekencang dulu. Atau melompat setinggi dulu. Menurut Tina, dunianya sudah berakhir sampai di sini.

Tina membenci tongkat kruk di samping ranjangnya. Rasanya ingin berteriak, bertanya, menggugat. “Kenapa dari sekian banyak manusia di dunia ini, aku, Tina si juara lari tingkat nasional, yang harus mengalami kecelakaan ini?” tanyanya selalu. Tak ada yang pernah bisa menjawabnya. Semua berkata itu adalah takdir. Dan takdir harus diterima dengan lapang dada. Tapi, Tina tak menerimanya. Ia ingin protes!
**
Rasa sedih itu membuat Tina terisak di tengah malam. Begitu menghiba hingga menggugah dewi Nasib untuk menengoknya.
            “Apa yang kau tangisi anakku?” tanyanya.
Tina menatap makhluk mengambang yang tembus pandang di hadapannya dengan ketakutan. Dewi nasib menunggunya menjawab, tapi Tina tak juga bisa mengeluarkan suaranya. Dewi nasib menjentikkan jarinya. Rasa takut Tina pun menghilang.
             “Siapa anda?” Tanya Tina.
             “Aku dewi Nasib!” katanya. “Akulah yang melemparmu ke pinggir trotoar saat kecelakaan terjadi. Sehingga kau masih hidup hingga sekarang. Kenapa kau menangis? Apakah kau tidak senang aku menyelamatkanmu?” tanyanya.
Tina kembali menangis. 
            “Aku tak bisa hidup dengan kaki pincangku dewi Nasib!”
Dewi Nasib menggernyit. 
            “Kenapa?” tanyanya.
            “Karena aku tak bisa berlari lagi. Padahal itulah kemampuanku, kelebihanku! Tanpa itu aku tak berguna lagi! Seharusnya dulu waktu kau menyelamatkanku, kau juga harus menyelamatkan kakiku!” Tina memprotes.
Dewi Nasib tertawa.
            “Baiklah! Aku akan berbaik hati padamu!” katanya. “Aku akan mengembalikan kakimu!”
            “Benarkah?” Tina berseru senang.
            “Ya! Tapi dengan satu syarat.”
Tina tak peduli apapun syaratnya. “Katakan! Yang penting kakiku kembali!”
Dewi nasib menatap Tina di bola matanya. “Akan kukembalikan kakimu yang berharga, tapi aku akan mengambil bagian tubuhmu yang lain sebagai gantinya. Nah, bagian mana yang kau pilih?”
            “Oh!” Tina tak menyangka syaratnya seperti itu.
Dewi nasib mempermainkan matanya yang bersinar. “Apakah tanganmu?” tanyanya.
Tina memandang kedua tangannya. Kalau ia berikan, maka ia tak bisa memegang apapun. Tak bisa menekan tuts-tuts piano kesayangannya. Tak bisa lagi membuat kue kegemarannya. Atau sekedar memberi uang recehan pada pengemis. Betapa merepotkan! Tina menggeleng.
            “Kalau begitu, kedua matamu?” Dewi nasib bertanya lagi.
Tina bergidik. Kalau ia kehilangan matanya, maka dunia akan menjadi gelap gulita. Ia tak akan bisa lagi melihat bunga-bunga bermekaran. Tak bisa lagi membaca Al-Quran. Tak bisa lagi menonton film di bioskop. Atau sekedar memandang wajahnya sendiri di cermin.             “Tidak!” Tina mulai gemetar ketakutan.
            “Tapi tadi kau bilang kakimu lebih berharga dari yang lainnya. Kenapa kau bingung? Hmm…kalau dengan akalmu bagaimana? Itu kan tidak terlihat dari luar.” Dewi Nasib menawar lagi.
            “Tidak! Tidak!” Tina histeris. “Aku tak mau kau mengambil akalku. Aku akan gila tanpanya.”
Dewi Nasib mendecak. “Ah kau membingungkan! Lalu bagaimana jadinya? Kalau aku tak boleh mengambil bagian yang lain, aku tak mau mengembalikan kakimu!” Dewi Nasib melayang-layang tak sabar di samping Tina.
            “Biarlah! Aku lebih baik pincang saja.” Tina menangis putus asa. “Kehilangan yang lain juga ternyata mengerikan,” isaknya.
Dewi Nasib membelai kepalanya.            
            “Ah, kenapa kau begitu sedih hanya karena kakimu pincang? Bukankah sudah kau lihat bahwa kehilangan kaki masih lebih baik daripada kehilangan tangan, mata atau akalmu. Lalu apa yang kau sesali lagi?” tanyanya.
Tina menghela nafas. “Entahlah! Aku tetap saja merasa sedih. Kadang-kadang aku berpikir, seandainya dulu aku tak selamat mungkin aku tak perlu merasa sedih!”
Dewi Nasib berseru kecil. “Dan membiarkan orang yang mendoakan keselamatanmu kecewa? Tidak! Tidak!” Dewi Nasib menggoyang-goyang jari telunjuknya di depan wajah Tina. “Kau pikir kenapa dulu aku diperintahkan untuk menyelamatkanmu dari cengkraman maut? Karena doa orang ini! Dia bersujud setiap malam hingga keningnya menghitam, meminta sambil mengiba pada Alloh, Tuhanku, untuk memberikan perlindungan terbaik bagimu.”
Tina tersentak. Siapa orang yang begitu hebat hingga bisa mencegah maut datang padanya?
           “Aku tak tahu siapa namanya,..” kata Dewi Nasib sedikit menyesal. “Tapi aku hapal wajahnya!” Matanya berbinar-binar. “Dia mirip sekali denganmu. Hanya lebih tua saja kelihatannya.”
Tina menunjuk sebuah foto di dinding kamarnya.
            “Ya, dialah orangnya! Tak salah lagi!” Dewi nasib berseru senang.
Tina tersedu pelan.
            “Kau mengenalnya?” Tanya dewi Nasib.
Tina mengangguk.
“Dia Bundaku!”
**
            Tina memeluk ibunya yang telah dengan sabar melayaninya selama ini. Baru ia sadari wajah letih bundanya. Ia yang tak pernah lelah mendengar keluh kesahnya. Yang tak pernah jemu mendengar kemarahannya. Yang tak pernah lupa mendoakan kebaikannya. Yang tak pernah pupus kasih sayangnya. Bundalah yang paling sedih ketika tahu permata hatinya berduka. Saat Tina merasa dirinya tak berguna, Bunda merasa lebih tak berguna lagi karena merasa tak bisa melindunginya. Ah, Tina baru menyesalinya sekarang. Diam-diam diucapkan sebait doa untuk bundanya.
            ‘Allahumaghfirlii wali waalidayya warhamhuma kama robbaya ni saghiraa. Ya Alloh ampunilah dosaku dan dosa ayah bundaku. Sayangilah mereka, seperti mereka menyayangiku di waktu aku masih kecil.’
Tina mengucapkan Aamiin berkali-kali.
            Angin bertiup lembut. Ia mengangkat untaian doa Tina bersamanya. Mereka terbang ke atas langit, ke hadapan Alloh yang Maha Penyayang.
**
~Rachma MJ~


No comments:

Post a Comment